Senin, 16 November 2015
BANYAK JALAN MENUJU ROMA
Oleh : Syahrawati Nasir
Adzan Subuh berkumandang, Ibu segera bergegas dari ranjang melangkah menuju tempat wudhu. Sementara itu, Ayah masih saja dalam kawasan mimpinya. Kakek dan Nenek pun tak ada yang menyadari bahwa seruan perintah telah tiba.
Kicauan burung dan kokok ayam pun mulai terdengar dari berbagai pelosok negeri. Tiba-tiba terdengar suara meringis dari pojok kanan dapur, layaknya seorang wanita muda yang dalam keadaan hamil. Entah kenapa, Seisi rumah tak ada yang sadarkan diri. Tepat pukul 06.00 WITA, Ayah terbangun dan bergegas dari ranjang.
“Hoamm…Hmmm…”, suara Ayah yang rupanya masih ngantuk.
Dengan kesadaran sendiri, Ayah merasa ada yang berbeda dari suasana pagi yang sebelumnya. Biasanya Ayah di bangunkan oleh Ibu tepat disaat Adzan subuh berkumandang. Akan tetapi, kali ini tak dibangunkan sama sekali bahkan Ibu tak ada di kamar. Ayah kemudian mencoba untuk mencari Ibu di dapur.
“Mungkin lagi masak yah??”, Pikir Ayah cemas.
Tiba-tiba Ayah melihat Ibu yang sedang terbaring di lantai. Dengan Perasaan khawatir bercampur cemas, Ayah kemudian membawa Ibu ke kamar lalu secepatnya membangunkan Kakek dan Nenek yang masih tertidur pules. Membisikkan kejadian tersebut, keduanya tergesah-gesah segera menengok Ibu.
Mentari mulai menampakan dirinya, pancaran sinarnya pun mulai terasa hangat. Sabtu, 07 Juni 1997 Tepat pukul 07.00 WITA, lepaslah beban Ibu. Rupanya tanpa Rumah Sakit Bersalin dan tanpa seorang Bidan pun, akhirnya Ibu dan bayinya selamat. Hal yang tak disangka, kekhawatiran dan kecemasan keluarga kini berakhir dengan kebahagiaan. Kakek dan Nenek merasa bangga bisa punya cucu lagi setelah 4 orang cucu sebelumnya. Ayah dan Ibu pun sangat bersyukur karena telah di karuniakan seorang anak perempuan yang merupakan anak sulung dari mereka. Anak tersebut kemudian diberi nama lengkap “SYAHRAWATI binti NASIR” dan Sarah ialah nama panggilannya. Yahh, Sarah……… Dia adalah Aku. JJJ
Ketika Aku sudah berumur 3 bulan, Ayah dan Ibu memilih untuk tidak membebani Kakek dan Nenek lagi. Mereka minggat dari rumah Kakek ke Ujung Pandang. Kami mengontrak di salah satu rumah yang letaknya tak jauh dari jembatan kanal samping Fajar Ujung Pandang. Di sana, satu lorong penghuninya kebanyakan keluarga Ayah dari Takalar. Suka duka Kami jalani bersama bahkan dikontrakan tersebut, sempat pula Kami terendam banjir. Untuk makan pun susah, apalagi mesti bayar kontrakan per bulan. Saat itu, Ayah bekerja sebagai seorang satpam di salah satu Pasar Grosir yang letaknya di Makassar. Namanya Pasar Grosir Butung. Dan Ibu ikut bantu-bantu nyulam perlik usaha busana salah satu pemilik grosir di Pasar tersebut.
Hari demi hari Kami lewati dengan penuh semangat. Tiga tahun kemudian, Ayah meninggalkan profesinya sebagai seorang satpam dan untuk sementara lebih memilih jadi pengangguran. Berhubung karena Ayah tak punya kerjaan, Mereka berencana kembali ke Kampung halaman. Mereka mempunyai modal untuk membeli tanah yang letaknya tepat berhadapan dengan Masjid Nurul Iman Borongkaluku. Disana tak jauh dari rumah Kakek (tempat kelahiranku dulu). Saat itu, Ayah yang tidak berpengalaman jadi Tukang batu maupun Buruh bangunan harus bisa membangun rumah sendiri. Sedangkan Ibu meminjam uang di Bank untuk mencukupi dana pembangunan rumah Kami. Di bantu oleh Paman saya (saudara Ibu), Ayah membangun rumah dengan penuh percaya diri.
Beberapa bulan kemudian, Rumah Kami akhirnya berdiri tegak bagaikan prajurit yang masih dalam pelatihan. Saat itu, Aku sudah mengerti kehidupan. Meskipun rumah tersebut tak seluas rumah orang lain, tapi bagiku “Rumahku adalah istanaku dan istanaku adalah gubuk kasih sayang orang tuaku”.
Tak lama kemudian, dengan modal Rp.300.000 Ayah memulai usaha di bidang wiraswasta. Beliau mengedarkan uang ke nasabah dalam bentuk koperasi (simpan-pinjam). Hingga tiba saatnya, modal Rp.300.000 tadi berkembang terus-menerus. Suatu ketika perselisihan terjadi antara Ayah dan tetangga yang mengarahkan keduanya ke jalan yang tak diinginkan. Ibu merasa terganggu dengan perkara tersebut, sehingga meminta kepada Ayah agar kiranya masalah tersebut diacuhkan saja.
“Pak, mungkin sebaiknya kalau masalah ini diacuhkan saja dan sekiranya mungkin kita bisa angkat kaki dari sini”, desak Ibu.
“Kamu tahu kan, kalau Aku orangnya tak mau mengalah dan Aku putuskan untuk tetap tinggal disini. Ok !”, Sahut Ayah.
“Ayah, mungkin kata Ibu benar. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Lahan dekat rumah kakek kan sudah dipindah tangankan pada Ibu. Jadi, kita bisa bangun rumah disana”, Saran Aku yang bermaksud menenangkan suasana.
“Ya udah, terserah”, balas Ayah.
Aku dan Ibu pun tersenyum bahagia karena Ayah akhirnya setuju dengan keinginan kami.
Saat itu pula, Kami bergegas meninggalkan rumah Kami yg sekarang dan lebih memilih untuk memulai hidup baru di rumah yang baru. Tepat disebelah Barat rumah kakek, Kami hidup bahagia. Hari demi hari, Segala peningkatan dari usaha kerja Ayah mulai terlihat. Hingga saat ini, Alhamdulillah Kami hidup sebagai keluarga sederhana yang enggan dari kesombongan. Ayah sekarang sudah sukses, banyak orang yang iri dengan sosok Ayah yang sangat jauh berbeda dengan lelaki lainnya. Ayah ialah sosok seorang pria yang penyabar, humoris, tangguh, dan penuh semangat. Aku percaya dengan adanya peribahasa yang berbunyi “Banyak Jalan Menuju Roma” karena jika Aku menengok ke belakang, Aku hanya bisa melihat sungguh besar usaha Ayah demi anak dan keluarganya.
Terima kasih Tuhan, Engkau hadirkan keluarga besar untukku, Engkau kirimkan sejuta teman dan segenggam kawan serta sehelai sahabat, hanya Ku sangat bangga Engkau kirimkan Hamba 2 sosok manusia luar biasa, juga seorang Adik laki-laki yang sayang padaku dan menghargai keiginanku. Di umurku yang sudah 16 tahun jalan 17 ini, Aku berharap bisa membanggakan Kedua Orangtuaku. Maka dari itu, jangan ambil mereka Tuhan sebelum Aku menjadi manusia yang sesungguhnya karena Ku yakin, BANYAK JALAN MENUJU ROMA (Keberhasilan).
UNSUR INTRINSIK CERPEN
No.
|
Materi/Perihal
|
Keterangan
|
1.
|
Nama-nama tokoh
1. Aku
2. Ayah
3. Ibu
4. Kakek
5. Nenek
| |
2.
|
Watak masing-masing tokoh
1. Aku
Ø Mudah Menyerah, Suka Memberi Saran, dan Selalu berpikiran positif.
2. Ayah
Ø Pantang Menyerah, Pekerja keras, Lincah.
3. Ibu
Ø Mudah Menyerah dan Suka Memberi Saran.
4. Kakek dan Nenek
Ø Pemalas, Peduli.
| |
3.
|
Bagian cerpen yang menunjukkan watak tokoh
1. Aku
Ø Mudah Menyerah
“Ayah, mungkin kata Ibu benar. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini.”
Ø Suka Memberi saran
“Lahan dekat rumah kakek kan sudah dipindah tangankan pada Ibu. Jadi, kita bisa bangun rumah disana.”
Ø Selalu berpikiran positif
Meskipun rumah tersebut tak seluas rumah orang lain, tapi bagiku “Rumahku adalah istanaku dan istanaku adalah gubuk kasih sayang orang tuaku.”
2. Ayah
Ø Pantang Menyerah
Ayah yang tidak berpengalaman jadi Tukang batu maupun Buruh bangunan harus bisa membangun rumah sendiri.
Ø Pekerja keras
Dengan modal Rp.300.000 Ayah memulai usaha di bidang wiraswasta. Beliau mengedarkan uang ke nasabah dalam bentuk koperasi (simpan-pinjam).
Ø Lincah
Secepatnya membangunkan Kakek dan Nenek yang masih mules.
3. Ibu
Ø Mudah Menyerah
“Sekiranya mungkin kita bisa angkat kaki dari sini.”
Ø Suka Memberi saran
“Pak, mungkin sebaiknya kalau masalah ini diacuhkan saja.”
4. Kakek dan Nenek
Ø Pemalas
Kakek dan Nenek pun tak ada yang menyadari bahwa seruan perintah telah tiba.
Ø Peduli
Keduanya tergesah-gesah segera menengok Ibu.
| |
4.
|
Yang merupakan tokoh :
1. Protagonis
Ø Ayah
Buktinya :
Ø Tiba-tiba Ayah melihat Ibu yang sedang terbaring di lantai. Dengan Perasaan khawatir bercampur cemas, Ayah kemudian membawa Ibu ke kamar.
2. Antagonis
Ø -
Buktinya : -
3. Tritagonis
Ø -
Buktinya : -
| |
5.
|
Latar yang ada dalam cerpen
Ø Latar Waktu
Sabtu, 07 Juni 1997 dari Subuh hingga Pukul 07.00 WITA
Ø Latar Tempat
Rumah Kakek di Dapur dan Kamar
Ø Latar Suasana
Mengharukan
| |
6.
|
Gambaran latar yang ada dalam cerpen
Ø Latar Waktu
Sabtu, 07 Juni 1997 Tepat pukul 07.00 WITA, lepaslah beban Ibu. Rupanya tanpa Rumah Sakit Bersalin dan tanpa seorang Bidan pun, akhirnya Ibu dan bayinya selamat.
Ø Latar Tempat
Ayah kemudian mencoba untuk mencari Ibu di dapur.
Ayah kemudian membawa Ibu ke kamar lalu secepatnya membangunkan Kakek dan Nenek yang masih mules.
Ø Latar Suasana
Suka duka Kami jalani bersama bahkan dikontrakan tersebut, sempat pula Kami terendam banjir. Untuk makan pun susah, apalagi mesti bayar kontrakan per bulan.
| |
7.
|
Identifikasi kejadian-kejadian pokok yang membentuk alur
Ø Mentari mulai menampakan dirinya, pancaran sinarnya pun mulai terasa hangat. Sabtu, 07 Juni 1997 Tepat pukul 07.00 WITA, lepaslah beban Ibu. Rupanya tanpa Rumah Sakit Bersalin dan tanpa seorang Bidan pun, akhirnya Ibu dan bayinya selamat. Hari demi hari Kami lewati dengan penuh semangat. Tiga tahun kemudian, Ayah meninggalkan profesinya sebagai seorang satpam dan untuk sementara lebih memilih jadi pengangguran. Tak lama kemudian, dengan modal Rp.300.000 Ayah memulai usaha di bidang wiraswasta. Beliau mengedarkan uang ke nasabah dalam bentuk koperasi (simpan-pinjam).
|
Alur Maju
|
8.
|
Gambaran bagian-bagian alur :
1. Pemaparan
Mentari mulai menampakan dirinya, pancaran sinarnya pun mulai terasa hangat. Sabtu, 07 Juni 1997 Tepat pukul 07.00 WITA, lepaslah beban Ibu. Hal yang tak disangka, kekhawatiran dan kecemasan keluarga kini berakhir dengan kebahagiaan. Lahir seorang anak yang kemudian diberi nama lengkap “SYAHRAWATI binti NASIR” dan Sarah ialah nama panggilannya. Yahh, Sarah……… Dia adalah Aku.
2. Konflik
ketika perselisihan terjadi antara Ayah dan tetangga yang mengarahkan keduanya ke jalan yang tak diinginkan. Ibu merasa terganggu dengan perkara tersebut.
3. Klimaks
“Pak, mungkin sebaiknya kalau masalah ini diacuhkan saja dan sekiranya mungkin kita bisa angkat kaki dari sini”, desak Ibu.
“Kamu tahu kan, kalau Aku orangnya tak mau mengalah dan Aku putuskan untuk tetap tinggal disini. Ok !”, Sahut Ayah.
4. Leraian
“Ayah, mungkin kata Ibu benar. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Lahan dekat rumah kakek kan sudah dipindah tangankan pada Ibu. Jadi, kita bisa bangun rumah disana”, Saran Aku yang bermaksud menenangkan suasana.
5. Penyelesaian
“Ya udah, terserah”, balas Ayah.
“JJJ”, Aku dan Ibu tersenyum bahagia karena Ayah akhirnya setuju dengan keinginan kami.
| |
9.
|
Kesan tentang alur secara umum
Setiap Permasalahan pasti ada solusinya. Maka dari itu jika kita mempunyai masalah dengan seseorang baik itu orang lain maupun orang terdekat, jangan pernah terbawa oleh emosi. Yakinlah bahwa semua akan indah pada waktunya dan selesaikan permasalahan tersebut secara damai.
Dan juga, sayangilah keluarga serta hargailah pendapatnya karena bagaimanapun juga keluarga adalah penolong pertama bagi kita saat ini, esok, ataupun kelak.
|
Tugas Bahasa Indonesia
Nama : Syahrawati
Kelas : XI . IPA . 1
SMA NEGERI 1 BONTOMARANNU
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
�� mantap cerpennya
Posting Komentar